Selasa, 12 Maret 2013

Kesadaran yang Salah


Posted by zaky on Jan 3, '09 6:34 AM for everyone
Sebelum malam tahun baru kemarin, banyak orang yang bertanya, “Apa resolusi 2009?” Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya memiliki terlalu banyak keinginan, sampai tidak bisa membuat skala prioritas. Yang pertama kali ada di kepala saya, adalah melakukan hal-hal yang saya senangi: menulis novel baru (walaupun dua novel yang kemarin belum juga diterbitin..yah mungkin novel itu terlalu jelek untuk diterbitkan), pergi ke bekas kampung Samin untuk research novel baru nanti, bikin album solo, bikin investigative reports yang lebih berkualitas, apply buat Nieman Fellowship, dan terakhir dapetin uang semiliar biar bisa keluar kerja n beli rumah…yang terakhir itu untuk modal menjadi pengangguran banyak duit hehehehe…
Lalu saya berpikir, kenapa saya tidak begitu antusias dengan rencana-rencana? Kenapa tidak ada rencana yang tujuannya menghasilkan duit? Kenapa tidak ada rencana pindah kerja? Kenapa tidak ada rencana punya anak? Kenapa semua rencana yang ada di kepala saya hanya berdasarkan kesenangan saja?
Mungkin…ini hanya kemungkinan… saya jenuh dengan apa yang saya lihat,
saya dengar, saya rasakan. Perasaan jenuh dan tidak antusias untuk menjadi “orang normal” itu, didorong oleh John Perkins, Davis Merrit, Alexander Berkman, James Joyce, Pramoedya Ananta Toer,Larry Gonick, Subcommandante Marcos, trilogy the Matrix, Rage Against the Machine, Bad Religion, Jhonny Walker, Jack Daniels, Jim Beam, Absolut, ditambah sederet file MP3 dan sederet jurnal jurnalisme dan komunikasi massa di laptop saya. Kebosanan itu diperparah dengan khutbah Jumat di mesjid yang isinya masih itu-itu saja. Masih menakut-nakuti umat dengan neraka dan menggoda dengan surga. Para da’i itu tampaknya harus lebih banyak belajar melihat dunia dalam konteks kekinian. Agar bisa memberikan pencerahan dan semangat perubahan yang segar.
Apa saya memiliki kesadaran yang salah di awal usia 30 ini? Saya tidak tahu. Yang pasti saya sedang merasakan kegelisahan yang luar biasa. Dalam tiga tahun terakhir ini saya memang terus gelisah, dan setiap hari kegelisahan itu bertambah parah. Saya pernah mencoba untuk kembali mendekati Tuhan, tapi dia terlalu tinggi untuk dicapai. Mungkin belum saatnya menemukan Tuhan. Mungkin besok lusa saya ada kesempatan. Mudah-mudahan saya masih memiliki kesempatan.
Kalau melihat lagi ke belakang, saya mulai lebih sering berpikir –kalau tidak salah—sejak menonton the Matrix, mungkin tahun 1998 atau 1999. Entah kenapa, saya selalu merasa penasaran untuk memahami film itu secara lebih mendalam. Bahkan sampai saat ini pun, setelah lewat satu dekade, saya merasa film itu masih relevan untuk ditonton.
Saya pikir, the Matrix cukup tepat menggambarkan situasi dunia yang sebenarnya. Film itu memudahkan saya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia. Tentang miliaran manusia yang tidak memiliki kesadaran sebagai manusia. Umat manusia yang dipenjara system yang eksploitatif. Umat manusia yang dijadikan “mur dan baut” industry. Manusia adalah onderdil yang paling efektif dan efisien. Mereka adalah onderdil di dalam mesin raksasa, yang harus bekerja untuk membeli oli untuk melumasi dirinya sendiri, agar bisa terus digunakan dan bertahan di dalam system yang eksploitatif itu.
Lebih dari itu, the Matrix menggambarkan secara gamblang, sebagian besar anggota umat manusia tidak memiliki kesadaran, karena kesadaran mereka dicabut sejak mereka lahir. Sejak hari pertama mereka lahir, manusia sudah disuguhi imajinasi. Diajarkan untuk bekerja, mengkonsumsi, dan mati. Bukankah tubuh-tubuh manusia di dalam tabung kaca, --yang aliran listrik dari otaknya digunakan untuk menghidupkan mesin dan system, yang diberi imajinasi dan harapan untuk bertahan hidup, yang kesadarannya dibatasi--, adalah kita?
Dan mereka yang memiliki kesadaran untuk terbebas dari system, membangun koloni di bawah tanah, mencoba melakukan perlawanan terhadap system dan robot yang mereka ciptakan, pada akhirnya merasa sebagai pahlawan yang menyelamatkan peradaban manusia. Padahal sebenarnya, apa yang mereka lakukan, malah membantu system itu untuk menjadi lebih canggih dan lebih kejam, tapi semakin tidak dirasakan kekejamannya oleh manusia. Apakah the Matrix hanya sekedar film fiksi? Tidak.
Kalau anda sempat, cari film documenter “The New Ruler of the World” karya wartawan veteran Inggris, John Pilger, atau baca the Confession of an Economic Hitman karya John Perkins, lalu bandingkan dengan the Matrix. Anda akan tahu, the Matrix bukan sekedar fiksi.
Dan semua itu membuat saya gelisah. Saya gelisah, karena tidak ingin menjadi manusia yang dieksplotasi oleh system yang dibangun oleh segelintir orang yang menguasai kekayaan dunia. Saya gelisah, karena saya memiliki kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya, tapi belum mampu untuk memerdekakan diri dari perbudakan ini. Saya gelisah, karena imajinasi tentang tata dunia baru itu masih terus menghantui saya. Saya gelisah, karena keinginan untuk memiliki sesuatu yang secara esensi tidak saya butuhkan, masih menjajah diri saya. Saya gelisah, karena saya ingin hidup saya di dunia ini memiliki makna, bukan hanya untuk bekerja, mengkonsumsi, dan mati. Saya gelisah karena mulai bertanya, apakah Tuhan itu ada dan merancang semua ini untuk umat manusia dan planet bumi?
Kesadaran yang muncul setelah berkali-kali menonton the Matrix, yang kemudian diperkaya dengan berbagai bacaan yang secara tidak sengaja menghampiri saya. Alexander Berkman dengan the A,B, C of Anarchism dan The Bolsevik Myth, Pramoedya dengan trilogy Pulau Buru, Larry Gonick dengan kartun Riwayat Peradaban, John Perkins dengan the Economic Hitman, karya-karya Subcommandante Marcos dan banyak lagi buku, film fiksi, documenter, dan lagu, memperkuat kesadaran itu. Diskusi dengan istri saya, semakin merekatkan saya pada kesadaran itu. Kegiatan jurnalisme saya, semakin membuat mata saya terbuka. Dan tetap saja, saya tidak berani untuk mencabut kabel dari kepala saya, yang menghubungkan otak saya dengan system yang menjadi tempat tinggal miliaran manusia itu.
Saya tidak berani, karena saya belum melihat ada cara lain untuk melawan system ini. Seperti kaum pemberontak di the Matrix, gerakan kaum pemberontak, kritikus, ilmuwan, aktivis yang ada di dunia nyata, malah membantu system ini menjadi lebih canggih dan lebih kejam. Apa yang dilakukan oleh “kelompok perlawanan” malah menjadi masukan yang sangat berharga bagi system, untuk menjadi lebih eksploitatif, tapi terasa lebih halus dan ramah. Gerakan para pemberontak itu sudah diprediksi dan sangat mudah diprediksi. Sebenarnya system sudah menyiapkan wadah untuk para pemberontak itu, sehingga gerakan mereka pun teratur mengikuti apa yang diinginkan oleh system. Gerakan para pemberontak sudah sangat terpola, dan sangat mudah dipatahkan, dan dimatikan saat mereka tidak lagi dibutuhkan.
Saya teringat apa yang dikatakan oleh the Architect di the Matrix, apa yang dilakukan oleh kelompok pemberontak sudah diprediksi kelahiran dan kematiannya. Lebih jauh lagi, jumlah para pemberontak itu sudah ditetapkan oleh system. Sistemlah yang melahirkan mereka, kemudian akan mematikan mereka, ketika dirasa keberadaan mereka sudah tidak relevan.
Dan bukankah, di dunia nyata ini, banyak gerakan, yang disebut sebagai gerakan civil society itu, hadir sebagai penasehat dan pemberi input bagi World Bank, Asian Development Bank, IMF, WTO, dan korporasi-korporasi dunia? Bukankah pemberontak dari Palestina, Somalia, Amerika Latin, Basque, hingga Aceh dan Papua, merupakan jaringan pasar yang diciptakan industry senjata? Bukankah USAID, AusAid, Ford Foundation, dan lainnya, adalah tempat penyaluran uang dari korporasi-korporasi dunia untuk menciptakan gerakan oposisi yang memberikan input bagi system agar bisa bekerja lebih baik? Bukankah media massa menjadi penyalur informasi yang efektif bagi system?
Lalu apa yang bisa saya lakukan, jika wadah-wadah pemberontakan saja sudah disediakan oleh system yang hendak kita lawan? Alih-alih membuang kabel dari otak saya, saya malah akan mengganti kabel itu dengan kabel baru, yang menyajikan imajinasi baru dan kebutuhan baru.
Lalu datang ide, dari Tia istri saya, dan Konar temannya yang pintar itu. Tia bilang, jika ingin melawan system maka gerakannya jangan mengikuti pola yang sudah mereka ciptakan. Jangan membuat lembaga baru, tapi buatlah ruang-ruang yang bebas dan tidak mengikat. Undang siapa pun yang mau hadir, dan diskusikan apa pun yang ingin kita diskusikan. Yang menjadi ide mendasarnya, membangun dan menyebarkan kesadaran kepada diri kita sendiri dan kepada siapa pun yang ingin sadar.
Sebelum mendengar ide tentang gerakan yang tidak berpola dari Tia dan Konar, saya mendapatkan ide untuk membuat “gerakan” atau “ruang” yang cair, tidak formal, yang bisa menjadi wadah bagi siapa pun yang berniat melawan, dari sebuah diskusi tentang Sungai Citarum.
Saya lupa nama perempuan yang mengusulkan ide itu. Yang saya ingat dia seorang aktivis dan peneliti dari Yogyakarta. Idenya sungguh menarik. Untuk apa membuat lembaga formal yang justru bisa menimbulkan konflik kepentingan? Kenapa tidak dibuat ruang yang terbuka untuk siapa pun yang ingin melawan? Bukankah bibit-bibit perlawanan itu ada di individu, mulai dari aktivis LSM sampai dengan pegawai pemerintah? Yang kita perlukan adalah gerakan social yang berbeda dengan gerakan social yang sudah ada.
Dari pemaparan itu, saya teringat pada Subcommandante Marcos, intelektual dari gerakan Zapatista di Meksiko. Dia pernah menulis, betapa frustasinya dia dengan gerakan yang sudah ada, yang tidak mengubah apa pun. Para elit di gerakan memaksakan pikiran mereka untuk dilakukan oleh massa. Dia pun pernah melakukan hal yang sama terhadap Indian Meksiko, dan hasilnya nihil. Kemudian dia mulai mendengarkan pada suara orang-orang Indian itu. Ternyata mereka memiliki ide yang lain, yang tidak sama dengan yang pernah dilakukan Marcos. Ide mereka didasarkan pada nilai-nilai tradisi Indian Meksiko, dan gerakan social yang dilakukan Zapatista mulai menunjukkan hasil. 1 Januari 1994 mereka unjuk gigi dengan melakukan pemberontakan bersenjata dan menguasai beberapa kota.
Jika dilihat dari sudut pandang pemberontakan melawan system, apa yang dilakukan Zapatista mungkin terasa kecil. Mereka hanya bergerak di Meksiko. Tapi sebenarnya apa yang mereka lakukan tidak sekecil itu. Karena kemudian mereka mulai melakukan kontak dan menempatkan gerakan mereka dalam konteks perlawanan terhadap system ekonomi yang saat ini dianggap baku. Mereka menempatkan gerakan mereka sebagai bagian dari perlawanan global.
Pasti tidak mudah menjadi orang yang sadar dan mau bergerak, seperti Marcos dan kaum Zapatista. Saya belum siap untuk menjadi seperti itu. Ilmu yang saya miliki masih jauh dari memadai untuk melakukan perlawanan yang berarti. Saya menjadi semakin gelisah, karena mungkin hidup saya tidak cukup panjang untuk sampai pada tahap itu. Bahkan mungkin hidup saya tidak akan cukup panjang untuk sekedar memahami makna hidup di planet ini.
Dan satu peristiwa membawa saya pada orang bijak. Kemarin saya nyaris terjatuh dari sepeda motor karena terlalu dalam melamun. Pinggang saya keseleo. Lalu Sofwat, teman saya, membawa saya ke tukang urut namanya Pak Asep “Bendo” di Soreang. Sambil mengurut pinggang saya, Pak Asep menceritakan pengalaman dirinya saat melakukan perjalanan mencari jati diri. Dia berguru ilmu silat dan ilmu pengobatan di Banten. Sampai pada satu tahap, dia memutuskan untuk menjalani ritual dikubur hidup-hidup.
Katanya, dalam keadaan nyaris tak sadar, ada yang menghampirinya di dalam kubur. Wujudnya seorang lelaki tua berjubah putih. Dia bertanya, “apa yang kamu inginkan sampai dikubur hidup-hidup seperti ini?”
Asep menjawab, “Ingin tahu makna hidup.”
Laki-laki itu tersenyum, “Kalau ingin tahu makna hidup dan siapa Tuhanmu, kenali dulu dirimu sendiri. Dengan mengenali dirimu sendiri kamu akan tahu siapa Tuhanmu dan untuk apa kamu hidup.”
Asep termenung. Dia merasa telah sampai pada pemahaman akan hidup, yang tidak bisa dia artikulasikan, tapi dapat dia lakukan. Dan dia pun menjalani hidup yang menurutnya berguna bagi manusia lain. Dia tidak lantang berteriak tentang pemberontakan. Dia juga tidak berbicara tentang system yang memperbudak manusia. Yang dia lakukan, hanyalah berjalan keluar dari system itu. Memberikan apa pun yang diminta darinya, dan menerima apa pun yang diberikan kepadanya. Dia hanya menjadi orang yang bersyukur.
Cerita hidup Asep membuat saya berpikir tentang satu kesadaran yang lain. Tentang satu cara hidup yang lain. Berkaca pada Asep, mulai tahun 2009 ini saya ingin tahu siapa diri saya, dan untuk apa saya hidup. Bicara tentang pemberontakan dan kebebasan dari system, biarlah itu terjadi jika memang harus terjadi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar