Sebelum malam tahun baru kemarin,
banyak orang yang bertanya, “Apa resolusi 2009?” Saya tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Saya memiliki terlalu banyak keinginan, sampai tidak bisa
membuat skala prioritas. Yang pertama kali ada di kepala saya, adalah melakukan
hal-hal yang saya senangi: menulis novel baru (walaupun dua novel yang kemarin
belum juga diterbitin..yah mungkin novel itu terlalu jelek untuk diterbitkan),
pergi ke bekas kampung Samin untuk research novel baru nanti, bikin album solo,
bikin investigative reports yang lebih berkualitas, apply buat Nieman
Fellowship, dan terakhir dapetin uang semiliar biar bisa keluar kerja n beli
rumah…yang terakhir itu untuk modal menjadi pengangguran banyak duit hehehehe…
Lalu saya berpikir, kenapa saya tidak
begitu antusias dengan rencana-rencana? Kenapa tidak ada rencana yang tujuannya
menghasilkan duit? Kenapa tidak ada rencana pindah kerja? Kenapa tidak ada
rencana punya anak? Kenapa semua rencana yang ada di kepala saya hanya
berdasarkan kesenangan saja?
Mungkin…ini hanya kemungkinan… saya
jenuh dengan apa yang saya lihat,
saya dengar, saya rasakan. Perasaan jenuh dan
tidak antusias untuk menjadi “orang normal” itu, didorong oleh John Perkins,
Davis Merrit, Alexander Berkman, James Joyce, Pramoedya Ananta Toer,Larry
Gonick, Subcommandante Marcos, trilogy the Matrix, Rage Against the Machine,
Bad Religion, Jhonny Walker, Jack Daniels, Jim Beam, Absolut, ditambah sederet
file MP3 dan sederet jurnal jurnalisme dan komunikasi massa di laptop saya.
Kebosanan itu diperparah dengan khutbah Jumat di mesjid yang isinya masih
itu-itu saja. Masih menakut-nakuti umat dengan neraka dan menggoda dengan
surga.
Apa saya memiliki kesadaran yang salah
di awal usia 30 ini? Saya tidak tahu. Yang pasti saya sedang merasakan
kegelisahan yang luar biasa. Dalam tiga tahun terakhir ini saya memang terus
gelisah, dan setiap hari kegelisahan itu bertambah parah. Saya pernah mencoba
untuk kembali mendekati Tuhan, tapi dia terlalu tinggi untuk dicapai. Mungkin
belum saatnya menemukan Tuhan. Mungkin besok lusa saya ada kesempatan.
Mudah-mudahan saya masih memiliki kesempatan.
Kalau melihat lagi ke belakang, saya
mulai lebih sering berpikir –kalau tidak salah—sejak menonton the Matrix,
mungkin tahun 1998 atau 1999. Entah kenapa, saya selalu merasa penasaran untuk
memahami film itu secara lebih mendalam. Bahkan sampai saat ini pun, setelah
lewat satu dekade, saya merasa film itu masih relevan untuk ditonton.
Saya pikir, the Matrix cukup tepat
menggambarkan situasi dunia yang sebenarnya. Film itu memudahkan saya untuk
melihat apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia. Tentang miliaran manusia
yang tidak memiliki kesadaran sebagai manusia. Umat manusia yang dipenjara
system yang eksploitatif. Umat manusia yang dijadikan “mur dan baut” industry.
Manusia adalah onderdil yang paling efektif dan efisien. Mereka adalah onderdil
di dalam mesin raksasa, yang harus bekerja untuk membeli oli untuk melumasi
dirinya sendiri, agar bisa terus digunakan dan bertahan di dalam system yang
eksploitatif itu.
Lebih dari itu, the Matrix
menggambarkan secara gamblang, sebagian besar anggota umat manusia tidak
memiliki kesadaran, karena kesadaran mereka dicabut sejak mereka lahir. Sejak
hari pertama mereka lahir, manusia sudah disuguhi imajinasi. Diajarkan untuk
bekerja, mengkonsumsi, dan mati. Bukankah tubuh-tubuh manusia di dalam tabung
kaca, --yang aliran listrik dari otaknya digunakan untuk menghidupkan mesin dan
system, yang diberi imajinasi dan harapan untuk bertahan hidup, yang
kesadarannya dibatasi--, adalah kita?
Dan mereka yang memiliki kesadaran
untuk terbebas dari system, membangun koloni di bawah tanah, mencoba melakukan
perlawanan terhadap system dan robot yang mereka ciptakan, pada akhirnya merasa
sebagai pahlawan yang menyelamatkan peradaban manusia. Padahal sebenarnya, apa
yang mereka lakukan, malah membantu system itu untuk menjadi lebih canggih dan
lebih kejam, tapi semakin tidak dirasakan kekejamannya oleh manusia. Apakah the
Matrix hanya sekedar film fiksi? Tidak.
Kalau anda sempat, cari film
documenter “The New Ruler of the World” karya wartawan veteran Inggris, John
Pilger, atau baca the Confession of an Economic Hitman karya John Perkins, lalu
bandingkan dengan the Matrix. Anda akan tahu, the Matrix bukan sekedar fiksi.
Dan semua itu membuat saya gelisah.
Saya gelisah, karena tidak ingin menjadi manusia yang dieksplotasi oleh system
yang dibangun oleh segelintir orang yang menguasai kekayaan dunia. Saya
gelisah, karena saya memiliki kesadaran untuk menjadi manusia seutuhnya, tapi
belum mampu untuk memerdekakan diri dari perbudakan ini. Saya gelisah, karena
imajinasi tentang tata dunia baru itu masih terus menghantui saya. Saya
gelisah, karena keinginan untuk memiliki sesuatu yang secara esensi tidak saya
butuhkan, masih menjajah diri saya. Saya gelisah, karena saya ingin hidup saya
di dunia ini memiliki makna, bukan hanya untuk bekerja, mengkonsumsi, dan mati.
Saya gelisah karena mulai bertanya, apakah Tuhan itu ada dan merancang semua
ini untuk umat manusia dan planet bumi?
Kesadaran yang muncul setelah
berkali-kali menonton the Matrix, yang kemudian diperkaya dengan berbagai
bacaan yang secara tidak sengaja menghampiri saya. Alexander Berkman dengan the
A,B, C of Anarchism dan The Bolsevik Myth, Pramoedya dengan trilogy Pulau Buru,
Larry Gonick dengan kartun Riwayat Peradaban, John Perkins dengan the Economic
Hitman, karya-karya Subcommandante Marcos dan banyak lagi buku, film fiksi,
documenter, dan lagu, memperkuat kesadaran itu. Diskusi dengan istri saya,
semakin merekatkan saya pada kesadaran itu. Kegiatan jurnalisme saya, semakin
membuat mata saya terbuka. Dan tetap saja, saya tidak berani untuk mencabut
kabel dari kepala saya, yang menghubungkan otak saya dengan system yang menjadi
tempat tinggal miliaran manusia itu.
Saya tidak berani, karena saya belum
melihat ada cara lain untuk melawan system ini. Seperti kaum pemberontak di the
Matrix, gerakan kaum pemberontak, kritikus, ilmuwan, aktivis yang ada di dunia
nyata, malah membantu system ini menjadi lebih canggih dan lebih kejam. Apa
yang dilakukan oleh “kelompok perlawanan” malah menjadi masukan yang sangat
berharga bagi system, untuk menjadi lebih eksploitatif, tapi terasa lebih halus
dan ramah. Gerakan para pemberontak itu sudah diprediksi dan sangat mudah
diprediksi. Sebenarnya system sudah menyiapkan wadah untuk para pemberontak
itu, sehingga gerakan mereka pun teratur mengikuti apa yang diinginkan oleh
system. Gerakan para pemberontak sudah sangat terpola, dan sangat mudah
dipatahkan, dan dimatikan saat mereka tidak lagi dibutuhkan.
Saya teringat apa yang dikatakan oleh
the Architect di the Matrix, apa yang dilakukan oleh kelompok pemberontak sudah
diprediksi kelahiran dan kematiannya. Lebih jauh lagi, jumlah para pemberontak
itu sudah ditetapkan oleh system. Sistemlah yang melahirkan mereka, kemudian
akan mematikan mereka, ketika dirasa keberadaan mereka sudah tidak relevan.
Dan bukankah, di dunia nyata ini,
banyak gerakan, yang disebut sebagai gerakan civil society itu, hadir sebagai
penasehat dan pemberi input bagi World Bank, Asian Development Bank, IMF, WTO,
dan korporasi-korporasi dunia? Bukankah pemberontak dari Palestina , Somalia ,
Amerika Latin, Basque, hingga Aceh dan Papua, merupakan jaringan pasar yang
diciptakan industry senjata? Bukankah USAID, AusAid, Ford Foundation, dan
lainnya, adalah tempat penyaluran uang dari korporasi-korporasi dunia untuk
menciptakan gerakan oposisi yang memberikan input bagi system agar bisa bekerja
lebih baik? Bukankah media massa
menjadi penyalur informasi yang efektif bagi system?
Lalu apa yang bisa saya lakukan, jika
wadah-wadah pemberontakan saja sudah disediakan oleh system yang hendak kita
lawan? Alih-alih membuang kabel dari otak saya, saya malah akan mengganti kabel
itu dengan kabel baru, yang menyajikan imajinasi baru dan kebutuhan baru.
Lalu datang ide, dari Tia istri saya,
dan Konar temannya yang pintar itu. Tia bilang, jika ingin melawan system maka
gerakannya jangan mengikuti pola yang sudah mereka ciptakan. Jangan membuat
lembaga baru, tapi buatlah ruang-ruang yang bebas dan tidak mengikat. Undang
siapa pun yang mau hadir, dan diskusikan apa pun yang ingin kita diskusikan.
Yang menjadi ide mendasarnya, membangun dan menyebarkan kesadaran kepada diri
kita sendiri dan kepada siapa pun yang ingin sadar.
Sebelum mendengar ide tentang gerakan
yang tidak berpola dari Tia dan Konar, saya mendapatkan ide untuk membuat
“gerakan” atau “ruang” yang cair, tidak formal, yang bisa menjadi wadah bagi
siapa pun yang berniat melawan, dari sebuah diskusi tentang Sungai Citarum.
Saya lupa nama perempuan yang
mengusulkan ide itu. Yang saya ingat dia seorang aktivis dan peneliti dari Yogyakarta . Idenya sungguh menarik. Untuk apa membuat
lembaga formal yang justru bisa menimbulkan konflik kepentingan? Kenapa tidak
dibuat ruang yang terbuka untuk siapa pun yang ingin melawan? Bukankah
bibit-bibit perlawanan itu ada di individu, mulai dari aktivis LSM sampai
dengan pegawai pemerintah? Yang kita perlukan adalah gerakan social yang
berbeda dengan gerakan social yang sudah ada.
Dari pemaparan itu, saya teringat pada
Subcommandante Marcos, intelektual dari gerakan Zapatista di Meksiko. Dia
pernah menulis, betapa frustasinya dia dengan gerakan yang sudah ada, yang
tidak mengubah apa pun. Para elit di gerakan memaksakan pikiran mereka untuk
dilakukan oleh massa .
Dia pun pernah melakukan hal yang sama terhadap Indian Meksiko, dan hasilnya
nihil. Kemudian dia mulai mendengarkan pada suara orang-orang Indian itu.
Ternyata mereka memiliki ide yang lain, yang tidak sama dengan yang pernah
dilakukan Marcos. Ide mereka didasarkan pada nilai-nilai tradisi Indian
Meksiko, dan gerakan social yang dilakukan Zapatista mulai menunjukkan hasil. 1
Januari 1994 mereka unjuk gigi dengan melakukan pemberontakan bersenjata dan
menguasai beberapa kota .
Jika dilihat dari sudut pandang
pemberontakan melawan system, apa yang dilakukan Zapatista mungkin terasa
kecil. Mereka hanya bergerak di Meksiko. Tapi sebenarnya apa yang mereka
lakukan tidak sekecil itu. Karena kemudian mereka mulai melakukan kontak dan
menempatkan gerakan mereka dalam konteks perlawanan terhadap system ekonomi
yang saat ini dianggap baku .
Mereka menempatkan gerakan mereka sebagai bagian dari perlawanan global.
Pasti tidak mudah menjadi orang yang
sadar dan mau bergerak, seperti Marcos dan kaum Zapatista. Saya belum siap
untuk menjadi seperti itu. Ilmu yang saya miliki masih jauh dari memadai untuk
melakukan perlawanan yang berarti. Saya menjadi semakin gelisah, karena mungkin
hidup saya tidak cukup panjang untuk sampai pada tahap itu. Bahkan mungkin
hidup saya tidak akan cukup panjang untuk sekedar memahami makna hidup di
planet ini.
Dan satu peristiwa membawa saya pada
orang bijak. Kemarin saya nyaris terjatuh dari sepeda motor karena terlalu
dalam melamun. Pinggang saya keseleo. Lalu Sofwat, teman saya, membawa saya ke
tukang urut namanya Pak Asep “Bendo” di Soreang. Sambil mengurut pinggang saya,
Pak Asep menceritakan pengalaman dirinya saat melakukan perjalanan mencari jati
diri. Dia berguru ilmu silat dan ilmu pengobatan di Banten. Sampai pada satu
tahap, dia memutuskan untuk menjalani ritual dikubur hidup-hidup.
Katanya, dalam keadaan nyaris tak
sadar, ada yang menghampirinya di dalam kubur. Wujudnya seorang lelaki tua
berjubah putih. Dia bertanya, “apa yang kamu inginkan sampai dikubur
hidup-hidup seperti ini?”
Asep menjawab, “Ingin tahu makna
hidup.”
Laki-laki itu tersenyum, “Kalau ingin
tahu makna hidup dan siapa Tuhanmu, kenali dulu dirimu sendiri. Dengan
mengenali dirimu sendiri kamu akan tahu siapa Tuhanmu dan untuk apa kamu
hidup.”
Asep termenung. Dia merasa telah
sampai pada pemahaman akan hidup, yang tidak bisa dia artikulasikan, tapi dapat
dia lakukan. Dan dia pun menjalani hidup yang menurutnya berguna bagi manusia
lain. Dia tidak lantang berteriak tentang pemberontakan. Dia juga tidak
berbicara tentang system yang memperbudak manusia. Yang dia lakukan, hanyalah
berjalan keluar dari system itu. Memberikan apa pun yang diminta darinya, dan
menerima apa pun yang diberikan kepadanya. Dia hanya menjadi orang yang
bersyukur.
Cerita
hidup Asep membuat saya berpikir tentang satu kesadaran yang lain. Tentang satu
cara hidup yang lain. Berkaca pada Asep, mulai tahun 2009 ini saya ingin tahu
siapa diri saya, dan untuk apa saya hidup. Bicara tentang pemberontakan dan
kebebasan dari system, biarlah itu terjadi jika memang harus terjadi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar