Selasa, 19 Maret 2013

Mereka dan Matematika


Posted by zaky on Sep 4, '08 9:58 AM for everyone
Saya lupa pernah menulis tentang ini. Tulisan ini tidak sengaja saya temukan di blog orang lain. Beberapa waktu setelah tulisan ini terbit, ada tanggapan dari beberapa pakar matematika, yang menurut saya, salah memahami pikiran saya tentang matematika. Tulisan ini saya buat waktu Jusuf Kalla dan Bambang Sudibyo (Mendiknas) menerapkan kebijakan yang membuat ribuan anak SMA tidak lulus sekolah, karena nilai matematikanya dianggap buruk. Inti tulisan saya sebenarnya ada di paragraf terakhir, di mana saya mengutip ucapan seorang guru besar matematika dari Universitas Pendidikan Indonesia.
 
ADALAH Prathap Suthan, yang memegang jabatan sebagai National Creative Director, dari perusahaan advertising dunia: Grey Worldwide. Dia ber­tanya kepada dirinya, dan mungkin juga kepada pembaca situs The India Times (http://timesofindia.indiatimes.com/articleshow/1510362.cms), apa pentingnya rumus matematika yang rumit bagi kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang yang tidak suka matematika?
Dengan lantang dia bertanya, apakah Steven Spielberg berutang kepada rumus trigonometri dalam perjalanannya menjadi salah satu figur terpenting di industri film dunia?
Apakah J.K Rowling, pencipta kisah Harry Potter, berhutang kepada kalkulus, karena memiliki kemampuan menuliskan hal-hal imajinatif yang menyihir pembaca di seluruh dunia?

Lalu Suthan menyatakan kepada dirinya dan pembacanya, ”Selama tujuh belas tahun bergelut di bidang advertising, saya belum pernah berurusan dengan persamaan kuadrat yang mampu membuat saya sedikit tersenyum atau membuat dompet saya semakin tebal!”
Kening saya berkerut membaca artikel itu. Pikiran saya lalu terbayang pada tokoh-tokoh yang telah turut memengaruhi kehidupan manusia pada abad 20 hingga 21 ini. Tidak semuanya bisa disebut ahli dalam matematika. Mung­kin juga mereka tidak membutuhkan matematika untuk melahirkan karya terbesar mereka.
Saya bertanya, apakah James Joyce berhutang kepada aritmatika saat menuliskan Ullyses, karya sastranya masuk dalam jajaran buku paling berpengaruh abad ini? Apakah Albert Camus menggunakan rumus matematika untuk menulis The Stranger? Apakah Chinua Achebe bergelut dengan rumus-rumus persamaan kuadrat saat menulis Things Fall Apart? Apakah Pramoedya Ananta Toer berhutang kepada matematika saat menulis Bumi Manusia? Bagaimana pula dengan Borges, T.S Elliot, Samuel Becket, Toni Morrison atau Virginia Woolf? Apakah karya besar mereka berhutang kepada matematika?
Masih berderet nama-nama penulis dunia, yang karyanya telah memengaruhi kehidupan manusia dan dipelajari di universitas-universitas terkemuka dunia: dari Yale hingga Harvard, dari Cornell hingga Oxford. Saya ingin membuat Anda bertanya, apa hutang mereka terhadap matematika?
**
Saya tidak sedang mencoba mendiskreditkan matematika. Tidak pula sedang membuat Anda berpikir bahwa matematika tidak ada gunanya bagi kehidupan manusia. Saya sekadar mengajak pembaca untuk melihat dari sudut pandang lain. Untuk menyadari kenyataan bahwa bukanlah persoalan serius ketika seseorang tidak mampu mengerjakan soal-soal matematika. Saya sedang mengajak anda untuk melihat bahwa banyak orang yang mampu melahirkan karya besar, dan mereka bukanlah orang-orang yang pintar di bidang matematika.
Selama ini kita selalu berpikir (atau dipaksa berpikir) bahwa orang pintar adalah mereka yang mampu dan suka mempelajari matematika. Entah sudah berapa lama pikiran itu tertanam di benak kita, sehingga mereka yang pintar di bidang lain –misalnya bahasa dan sastra– tidak kita pandang sebagai orang pintar, atau setidaknya tidak lebih pintar dari ahli matematika.
Padahal, membandingkan mereka yang pintar matematika dengan mereka yang pintar dalam bidang pelajaran lain adalah hal yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, apakah kita bisa membandingkan mana yang lebih berguna bagi kehidupan manusia, air atau sinar matahari?
Pemikiran yang salah kaprah ini rupanya sudah begitu mengakar di kalangan pejabat negara kita, sehingga mereka menetapkan aturan ujian nasional yang begitu kaku dan tak kenal ampun. Di koran ini kita membaca, seorang anak yang lulus PMDK tapi tidak lulus ujian nasional. Nilai bahasanya sangat tinggi, tapi nilai matematikanya rendah. Negara melihatnya, tapi tidak memberikan pilihan. Dia tidak lulus sekolah.
Padahal, siapa tahu suatu hari dia akan mejadi seperti James Joyce, Chinua Achebe, Samuel Becket, atau Toni Morrison? Siapa tahu suatu saat nanti namanya akan lebih besar dari Pramoedya Ananta Toer? Siapa tahu dia akan melahirkan karya besar yang mengguncang dunia, yang akan membawa nama bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi, karena telah melahirkan karya sastra yang berpengaruh?
Bukankah bapak-bapak kita yang duduk di pemerintahan ingin bangsa ini memiliki derajat seperti bangsa Eropa, Amerika, atau Jepang? Mungkin mereka tidak ingat, bangsa-bangsa itu disebut beradab tinggi karena telah melahirkan penulis-penulis besar, tidak hanya karena telah melahirkan para penemu teknologi modern.
Pernahkah mereka memperhitungkan beban psikologis yang harus ditanggung anak itu? Tidakkah para pejabat kita merasa khawatir jika anak itu merasa malu untuk mengulang sekolah, yang pada akhirnya akan membuat dia terjebak dalam kemandekan belajar? Apakah mereka siap bertanggung jawab atas kebijakan yang membuat dunia pendidikan kita semakin tidak menarik untuk dimasuki?
Menetapkan standar nilai tanpa mempertimbangkan keragaman kemampuan seorang siswa bukanlah hal yang bijak. Bayangkan siswa sekolah di daerah pesisir selatan Jawa Ba­rat, yang minim akses kepada buku dan informasi, harus mengejar standar yang ditetapkan oleh Jakarta. Sementara kualitas sekolah, buku, dan pelajaran yang diberikan kepada siswa tidak banyak mengalami pembaruan. Bayangkan pula nasib anak-anak yang memang tidak berminat kepada matematika atau bahasa.
Di sisi lain, kita tidak bisa menggeneralisasikan kemajuan belajar yang dicapai oleh siswa. Mereka yang paling tahu kemajuan belajar siswa adalah guru. Pertimbangan guru tidak bisa diabaikan begitu saja dalam kelulusan siswa.
Guru tentu yang paling mengetahui bahwa siswa X sudah mencapai empat langkah dalam belajar dan siswa Y hanya dua langkah. Ini juga berkaitan dengan prinsip keadilan. Katakanlah, siswa yang saat masuk sekolah memiliki angka 1 dan saat lulus mendapat angka 5 tentu memiliki upaya yang lebih keras, dibanding dengan mereka yang masuk dengan angka 5 dan lulus pada angka 7. Pada titik ini standarisasi yang dilakukan oleh negara akan terlihat absurd.
Ada alternatif lain jika pemerintah ingin melihat sejauh mana pencapaian pendidikan kita. Pemerintah bisa menyelenggarakan ujian nasional tanpa mengaitkannya dengan kelulusan. Ujian tersebut merupakan sebuah assesment untuk menilai tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Dengan hasil assesment ini pula pemerintah bisa menetapkan program pendidikan yang lebih tepat.
Setidaknya sejak dua tahun lalu, ujian nasional yang dikaitkan dengan kelulusan diprotes banyak orang. Ada aroma ketidakadilan dalam ujian nasional, sehingga harus diprotes. Ada nuansa merendahkan ilmu lain di dalamnya, kenapa ujian itu harus dikaji ulang.
Beberapa bulan lalu saya mewawancarai Guru Besar Matematika UPI, Prof. Dr. Wahyudin. Dia menegaskan, bahwa ”langit-langit” matematika setiap orang itu berbeda, ada yang tinggi, ada juga yang rendah. Intinya, pelajaran matematika tidak perlu dipaksakan kepada mereka yang tidak mampu mempelajarinya. Begitu pun mata pelajaran lain, tidak perlu dipaksakan, jika ternyata guru melihat seorang siswa memiliki kemampuan lebih di bidang lain. Bukankah itu intinya dari istilah kompetensi? Siswa memiliki kemampuan mumpuni di bidang yang dia inginkan.
Tapi protes tinggal protes. ujian nasional berjalan terus sambil menimbulkan korban (pada saat saya menulis tulisan ini, seorang anak di Bekasi telah membakar sekolahnya, karena kecewa tidak lulus ujian nasional). Masyarakat diam, sekolah diam, guru diam, orang tua diam, siswa diam. Dan diam selalu melahirkan tirani. Dan kita tahu, tirani hanya menciptakan kebodohan. ***

Penulis, wartawan Pikiran Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar