Saya lupa pernah menulis tentang
ini. Tulisan ini tidak sengaja saya temukan di blog orang lain. Beberapa waktu
setelah tulisan ini terbit, ada tanggapan dari beberapa pakar matematika, yang
menurut saya, salah memahami pikiran saya tentang matematika. Tulisan ini saya
buat waktu Jusuf Kalla dan Bambang Sudibyo (Mendiknas) menerapkan kebijakan
yang membuat ribuan anak SMA tidak lulus sekolah, karena nilai matematikanya
dianggap buruk. Inti tulisan saya sebenarnya ada di paragraf terakhir, di mana
saya mengutip ucapan seorang guru besar matematika dari Universitas Pendidikan Indonesia .
ADALAH Prathap Suthan, yang memegang jabatan sebagai
National Creative Director, dari perusahaan advertising dunia: Grey Worldwide. Dia bertanya kepada dirinya, dan
mungkin juga kepada pembaca situs The India
Times (http://timesofindia.indiatimes.com/articleshow/1510362.cms), apa pentingnya rumus matematika yang rumit bagi kehidupannya dan bagi
kehidupan orang-orang yang tidak suka matematika?
Dengan lantang dia bertanya, apakah Steven Spielberg
berutang kepada rumus trigonometri dalam perjalanannya menjadi salah satu figur
terpenting di industri film dunia?
Apakah J.K Rowling, pencipta kisah Harry Potter,
berhutang kepada kalkulus, karena memiliki kemampuan menuliskan hal-hal
imajinatif yang menyihir pembaca di seluruh dunia?
Lalu Suthan menyatakan kepada dirinya dan pembacanya,
”Selama tujuh belas tahun bergelut di bidang advertising, saya belum pernah
berurusan dengan persamaan kuadrat yang mampu membuat saya sedikit tersenyum
atau membuat dompet saya semakin tebal!”
Kening saya berkerut membaca artikel itu. Pikiran saya
lalu terbayang pada tokoh-tokoh yang telah turut memengaruhi kehidupan manusia
pada abad 20 hingga 21 ini. Tidak semuanya bisa disebut ahli dalam matematika.
Mungkin juga mereka tidak membutuhkan matematika untuk melahirkan karya
terbesar mereka.
Saya bertanya, apakah James Joyce berhutang kepada
aritmatika saat menuliskan Ullyses, karya sastranya masuk dalam jajaran buku paling
berpengaruh abad ini? Apakah Albert Camus menggunakan rumus matematika untuk
menulis The Stranger? Apakah Chinua Achebe bergelut dengan
rumus-rumus persamaan kuadrat saat menulis Things Fall Apart? Apakah Pramoedya
Ananta Toer berhutang kepada matematika saat menulis Bumi Manusia? Bagaimana pula dengan Borges, T.S Elliot, Samuel Becket, Toni Morrison
atau Virginia Woolf? Apakah karya besar mereka berhutang kepada matematika?
Masih berderet nama-nama penulis dunia, yang karyanya
telah memengaruhi kehidupan manusia dan dipelajari di universitas-universitas
terkemuka dunia: dari Yale hingga Harvard, dari Cornell hingga Oxford . Saya ingin membuat Anda bertanya, apa
hutang mereka terhadap matematika?
**
Saya tidak sedang mencoba mendiskreditkan matematika.
Tidak pula sedang membuat Anda berpikir bahwa matematika tidak ada gunanya bagi
kehidupan manusia. Saya sekadar mengajak pembaca untuk melihat dari sudut
pandang lain. Untuk menyadari kenyataan bahwa bukanlah persoalan serius ketika
seseorang tidak mampu mengerjakan soal-soal matematika. Saya sedang mengajak
anda untuk melihat bahwa banyak orang yang mampu melahirkan karya besar, dan
mereka bukanlah orang-orang yang pintar di bidang matematika.
Selama ini kita selalu berpikir (atau dipaksa berpikir)
bahwa orang pintar adalah mereka yang mampu dan suka mempelajari matematika.
Entah sudah berapa lama pikiran itu tertanam di benak kita, sehingga mereka
yang pintar di bidang lain –misalnya bahasa dan sastra– tidak kita pandang
sebagai orang pintar, atau setidaknya tidak lebih pintar dari ahli matematika.
Padahal, membandingkan mereka yang pintar matematika
dengan mereka yang pintar dalam bidang pelajaran lain adalah hal yang salah
kaprah. Sebagai ilustrasi, apakah kita bisa membandingkan mana yang lebih
berguna bagi kehidupan manusia, air atau sinar matahari?
Pemikiran yang salah kaprah ini rupanya sudah begitu
mengakar di kalangan pejabat negara kita, sehingga mereka menetapkan aturan
ujian nasional yang begitu kaku dan tak kenal ampun. Di koran ini kita membaca,
seorang anak yang lulus PMDK tapi tidak lulus ujian nasional. Nilai bahasanya
sangat tinggi, tapi nilai matematikanya rendah. Negara melihatnya, tapi tidak
memberikan pilihan. Dia tidak lulus sekolah.
Padahal, siapa tahu suatu hari dia akan mejadi seperti
James Joyce, Chinua Achebe, Samuel Becket, atau Toni Morrison? Siapa tahu suatu
saat nanti namanya akan lebih besar dari Pramoedya Ananta Toer? Siapa tahu dia
akan melahirkan karya besar yang mengguncang dunia, yang akan membawa nama
bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi, karena telah
melahirkan karya sastra yang berpengaruh?
Bukankah bapak-bapak kita yang duduk di pemerintahan
ingin bangsa ini memiliki derajat seperti bangsa Eropa, Amerika, atau Jepang?
Mungkin mereka tidak ingat, bangsa-bangsa itu disebut beradab tinggi karena
telah melahirkan penulis-penulis besar, tidak hanya karena telah melahirkan
para penemu teknologi modern.
Pernahkah mereka memperhitungkan beban psikologis yang
harus ditanggung anak itu? Tidakkah para pejabat kita merasa khawatir jika anak
itu merasa malu untuk mengulang sekolah, yang pada akhirnya akan membuat dia
terjebak dalam kemandekan belajar? Apakah mereka siap bertanggung jawab atas
kebijakan yang membuat dunia pendidikan kita semakin tidak menarik untuk
dimasuki?
Menetapkan standar nilai tanpa mempertimbangkan
keragaman kemampuan seorang siswa bukanlah hal yang bijak. Bayangkan siswa
sekolah di daerah pesisir selatan Jawa Barat, yang minim akses kepada buku dan
informasi, harus mengejar standar yang ditetapkan oleh Jakarta . Sementara kualitas sekolah, buku,
dan pelajaran yang diberikan kepada siswa tidak banyak mengalami pembaruan.
Bayangkan pula nasib anak-anak yang memang tidak berminat kepada matematika
atau bahasa.
Di sisi lain, kita tidak bisa menggeneralisasikan
kemajuan belajar yang dicapai oleh siswa. Mereka yang paling tahu kemajuan
belajar siswa adalah guru. Pertimbangan guru tidak bisa diabaikan begitu saja
dalam kelulusan siswa.
Guru tentu yang paling mengetahui bahwa siswa X sudah
mencapai empat langkah dalam belajar dan siswa Y hanya dua langkah. Ini juga
berkaitan dengan prinsip keadilan. Katakanlah, siswa yang saat masuk sekolah
memiliki angka 1 dan saat lulus mendapat angka 5 tentu memiliki upaya yang
lebih keras, dibanding dengan mereka yang masuk dengan angka 5 dan lulus pada
angka 7. Pada titik ini standarisasi yang dilakukan oleh negara akan terlihat
absurd.
Ada alternatif lain jika pemerintah ingin melihat sejauh
mana pencapaian pendidikan kita. Pemerintah bisa menyelenggarakan ujian
nasional tanpa mengaitkannya dengan kelulusan. Ujian tersebut merupakan sebuah assesment untuk menilai tingkat keberhasilan
proses belajar mengajar. Dengan hasil assesment ini pula pemerintah bisa menetapkan program pendidikan
yang lebih tepat.
Setidaknya sejak dua tahun lalu, ujian nasional yang
dikaitkan dengan kelulusan diprotes banyak orang. Ada aroma ketidakadilan dalam
ujian nasional, sehingga harus diprotes. Ada nuansa merendahkan ilmu lain di
dalamnya, kenapa ujian itu harus dikaji ulang.
Beberapa bulan lalu saya mewawancarai Guru Besar
Matematika UPI, Prof. Dr. Wahyudin. Dia menegaskan, bahwa ”langit-langit”
matematika setiap orang itu berbeda, ada yang tinggi, ada juga yang rendah.
Intinya, pelajaran matematika tidak perlu dipaksakan kepada mereka yang tidak
mampu mempelajarinya. Begitu pun mata pelajaran lain, tidak perlu dipaksakan,
jika ternyata guru melihat seorang siswa memiliki kemampuan lebih di bidang
lain. Bukankah itu intinya dari istilah kompetensi? Siswa memiliki kemampuan
mumpuni di bidang yang dia inginkan.
Tapi protes tinggal protes. ujian nasional berjalan
terus sambil menimbulkan korban (pada saat saya menulis tulisan ini, seorang
anak di Bekasi telah membakar sekolahnya, karena kecewa tidak lulus ujian
nasional). Masyarakat diam, sekolah diam, guru diam, orang tua diam, siswa
diam. Dan diam selalu melahirkan tirani. Dan kita tahu, tirani hanya
menciptakan kebodohan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar