Selasa, 12 Maret 2013

Susu Formula Bukan Pilihan Kami


Pertama kali published di lasage.multiply.com pada 30 Desember 2010

Saya berpikir beberapa kali sebelum menulis ini. Tadinya saya khawatir tulisan ini akan menyinggung perasaan beberapa teman. Tetapi saya pikir ada bagusnya juga menulis ini, bukan untuk membuka perselisihan, tetapi untuk mengingatkan dan membuka dialog, tentang apa itu pertemanan dan bagaimana berkomunikasi antar teman.
Saya ingin membuka tulisan saya dengan sebuah cerita. Begini ceritanya:
"Suatu hari di planet antah berantah, sebuah keluarga kecil sedang kelaparan. Sebenarnya mereka punya sepotong daging babi untuk dimakan. Tetapi karena babi haram untuk dimakan, keluarga itu bertanya-tanya pada teman dan kerabat, apakah boleh memakan babi saat kelaparan.
Banyak teman keluarga itu yang mengatakan dengan tegas, jangan sampai makan babi! Karena sesuatu yang haram akan mengakibatkan hal yang buruk.
Mereka yang mengatakan daging babi jangan sampai dimakan, memiliki persediaan daging sapi. Mereka berjanji untuk memberikan sebagian daging sapi untuk dimakan keluarga kecil itu.


Tapi setelah ditunggu hari demi hari, tidak ada daging sapi yang dikirim. Yang datang adalah berbagai nasihat agar jangan makan daging babi.
Di tengah kelaparan, tentu keluarga itu tidak butuh nasihat. Yang mereka butuhkan adalah makanan yang baik.
Karena tidak juga datang kiriman daging sapi, dan anak semata wayang mereka sudah tak kuat menahan lapar, keluarga kecil itu terpaksa memakan daging babi. Ketika datang lagi kiriman nasihat agar jangan makan daging babi, keluarga kecil itu menjawab, "Kami sudah makan daging babi."
Semua terdiam. Tidak ada lagi nasihat yang datang, kecuali ekspresi kekecewaan dari mereka yang sudah memberikan nasihat.
Ekspresi kekecewaan dari teman dan kerabat membuat keluarga kecil itu merasa telah melakukan perbuatan dosa. Tetapi apakah dosa, jika kita memakan yang ada di saat darurat, sedangkan orang-orang dekat tidak juga mengulurkan tangan mereka? Dan kenapa ada orang-orang yang senang membuat orang lain merasa berdosa hanya karena memakan sesuatu untuk bertahan hidup?"
**
Cerita itu terjadi pada saya. Tentu bukan karena saya kelaparan dan harus makan daging babi. Cerita sebenarnya adalah tentang susu formula.
Anak saya, baru lahir 4 Desember 2010. Artinya, saat tulisan ini ditulis dia baru berumur 26 hari.
Sebelum dia lahir, saya dan istri sudah menegaskan tidak akan pernah menggunakan susu formula. Kami yakin ASI adalah makanan terbaik untuk bayi kami.
Sampai akhirnya anak kami lahir. Dan dengan bersemangat istri saya menyusuinya. Tetapi air susu itu tidak keluar. Dokter mengatakan itu biasa, dan air susu akan keluar dalam beberapa hari.
Air susu itu memang keluar dua hari kemudian. Tetapi anak saya selalu menangis karena lapar. Berat badannya turun sampai 300 gram.
Selama itu saya mencoba mencari donor ASI. Beberapa teman memberikan nomor telepon donor ASI untuk saya hubungi sendiri. Tetapi bagaimana mungkin saya begitu saja meminta ASI kepada orang yang sama sekali tidak saya kenal?
Ini bukan tentang persoalan sopan santun saja, tetapi juga masalah keyakinan. Bagaimana saya yakin ASI dari donor tidak terpapar hepatitis atau HIV? Saya tidak ingin mengambil risiko itu untuk anak saya.
Tawaran ASI dari teman-teman pun tak kunjung datang, padahal anak saya sudah kelaparan. Dan dengan bodohnya saya tetap tidak mau menggunakan susu formula.
Situasi kami saat itu juga tidak memungkinkan untuk mencari ASI yang bisa kami percaya. Dan juga tidak ada bantuan dari teman untuk mencari donor yang bisa kami yakini sejarah kesehatannya.
Sampai akhirnya, di usianya yang baru delapan hari, anak saya mengalami dehidrasi yang parah. Ditambah infeksi pusar akibat kami tidak telaten merawat pusarnya.
Saat diperiksakan ke dokter, anak saya diputuskan harus dirawat secara intensif di bagian perina. Tangannya dipasangi selang infus. Dan dia harus terpasang dengan selang infus itu selama tujuh hari.
Sama sekali bukan pemandangan yang menyenangkan melihat anak saya diinfus selama seminggu penuh, padahal usia dia baru beberapa hari. Juga bukan pengalaman yang menyenangkan harus tidur tanpa ada anak di atas kasur kami. Dan yang paling membuat hati saya teriris, saya kehilangan momen selama enam malam tanpa melihat wajah anak saya. Pengalaman itu begitu membekas di hati saya, karena tidak mungkin momen enam malam yang hilang itu bisa saya dapatkan gantinya. Semuanya adalah akibat kebodohan saya yang begitu keras kepala tidak mau menggunakan susu formula, sampai membuat anak saya kelaparan dan dehidrasi. Permintaan maaf seperti apa yang harus saya ucapkan kepada anak saya atas semua itu?
**
Tidak bisa memberikan ASI yang cukup bukan hal yang mudah dijalani oleh istri saya. Pernah dia menangis karena merasa kecewa pada dirinya sendiri. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ibu yang tadinya yakin bisa memberi ASI yang cukup, ternyata ASI itu tidak cukup. Dan semua itu bukan kesalahan istri saya. Bukan juga kesalahan siapa pun.
Segala upaya telah dia coba. Saya menjadi saksi, bahwa sampai hari ini istri saya masih terus memakan rebus pepaya muda untuk menambah ASI-nya. Bukan hal menyenangkan buat dia, mengingat bagaimana pahitnya rebusan pepaya muda tiga kali sehari.
Keputusan kami untuk tidak menggunakan susu formula, juga membuat ibu saya marah. Dia menganggap saya telah mengorbankan anak demi sesuatu yang tidak jelas.
Sekarang, sejak anak kami keluar dari rumah sakit, susu formula selalu ada di kamar kami. Anak saya, tidak menyukai susu itu. Kami sebagai orang tuanya, juga tidak suka memberikan susu itu kepada anak saya. Tetapi dia harus meminumnya, agar tubuhnya tidak kekurangan nutrisi.
Semua teman yang mengetahui hal itu menyayangkan keputusan kami. Pernyataan mereka, bahwa susu formula buruk untuk tumbuh kembang anak, membuat saya merasa telah melakukan dosa. Saya seperti dihakimi telah berdosa karena mempertahankan hidup anak saya. Bahkan sampai hari ini masih saja ada orang yang memperlakukan saya seperti itu.
Tapi pilihan apa yang kami punya saat ini? Semua orang melarang susu formula, tapi tidak ada uluran tangan untuk memberi donasi ASI. Susu formula bukan pilihan kami karena memang tidak ada pilihan lain di depan kami.
Anehnya, setiap orang selalu mengatakan "JANGAN" terhadap susu formula, tapi tidak pernah bertanya kenapa kami menggunakannya, dan mengulurkan bantuan. Seakan semua orang menutup mata, bahwa kondisi tubuh setiap orang mungkin berbeda. Ada yang mendapat berkah memiliki ASI melimpah. Tetapi dalam kondisi kami, ASI itu tidak mencukupi. Kami bukannya tidak sabar atau kurang usaha. Sekali lagi saya katakan, ASI kami tidak cukup dan anak kami sudah menderita dehidrasi.
Saya sudah lelah mendengar semua nasihat itu. Hati saya sudah teriris setiap melihat poster di rumah sakit, bergambar bayi manusia dan seekor sapi perah, dengan tulisan di poster itu "Bayi Manusia Bukan Anak Sapi."
Saya tahu semua slogan dan kampanye itu. Saya pun pernah menjadi bagian dalam kampanyenya, dengan menulis berita yang mendorong pelarangan susu formula bagi bayi.
Dan saat ini saya harus mengalami paradoks dalam hidup saya dengan memberikan susu formula untuk anak saya. Semua itu sudah terasa bagai hukuman.
**
Saya selalu percaya, seorang teman yang baik adalah dia yang memberikan pertolongan sebelum diminta. Ketika tidak bisa memberi bantuan, dia akan menghibur dan memberi dukungan.
Seorang teman yang baik tidak akan menghakimi temannya yang memilih sesuatu karena tidak ada pilihan lain di hadapan matanya. Saya selalu percaya itu, dan akan selalu mengingatnya agar saya bisa menjadi seorang teman yang baik. 
Tetapi tulisan ini bukan untuk menyindir atau menyalahkan siapa pun. Saya hanya mengingatkan sesuatu yang layak untuk diingat, agar setiap diri kita menjadi seorang teman yang baik. Jika ada yang tersinggung saya memohon maaf sejak sekarang.

1 komentar:

  1. Situasi ini pernah terjadi pada anak pertama kami. Terlebih lagi saat itu istri mengalami syndrom pasca melahirkan atau dikenal baby blue. Secara psikologi membuat istri semakin tertekan dan ASI pun tak kunjung datang. Teman dan saudara seakan mencibir atas keputusan susu formula.

    Cerita daging babi ini menggugah saya, semoga menjadi inspirasi bagi kita semua.

    BalasHapus